[CERPEN] NOSTALGIA BERSAMA BAPAK


Ada perasaan campur aduk saat pertama kali menginjakkan kaki masuk ke dalam Museum Pendidikan. Tempat yang tidak pernah ada didalam list hidupku sebelumnya. Usia tua ini membuatku merasa was-was karena tubuhku yang tidak sekuat dulu apalagi dengan bantuan tongkat yang membantuku berdiri. Tubuh tua ini sudah gampang lelah walau hanya duduk beberapa menit saja. Tidak terbayangkan aku dapat berdiri tegap di hadapan bangunan yang lumayan besar dengan rambut yang sudah memutih dan penglihatan yang sudah buram.

 Saat aku masih muda, aku kuat berjalan berkilometer hanya untuk berangkat ke sekolah dengan teman seperjuangan. Kali ini tidak hanya tongkat yang membantuku berdiri dan berjalan, cucu pertama perumpuanku menggandeng tanganku dengan lembut. Menggiringku masuk ke dalam museum baru di Surabaya.

“Ini baru saja diresmikan sama bu Risma, jadi masih baru banget ini bangunan, nek,” katanya dengan senyum secerah mentari pagi. Cucuku ini gemar berpetualang mengunjungi bangunan estetik hanya untuk berswafoto dan dikirim ke aplikasi yang aku tidak tahu namanya, jawabnya jika aku bertanya perihal kesukaannya.

“Mbak, nanti aku fotoin di sebelah sini, pakai instagram aja biar cakep,” seru cucu paling kecilku di belakang. Anak perempuan umur dua belas tahun itu suka sekali bergaya di depan kamera dengan topi besar seperti caping. Jamanku dulu, kita bergantian foto menggunakan kamera yang harus dicuci dulu untuk tahu hasilnya.

Bangunan putih di depanku ini mengingatkanku kepada bangunan Belanda. Jaman sekarang sudah sangat jarang menemui bangunan tua dan sudah tergantikan bangunan besar yang bagus sehingga sulit untuk bernostalgia. Anak dan cucu jadi kurang mengetahui bentuk bangunan jaman dulu yang mereka tahu hanya bangunan besar seperti mall. Tahun 1993 tepatnya saat aku di Jakarta, bangunan besar memang sudah didirikan seperti mall dan McDonald bahkan suasana macet tergambar dengan jelas. Bis tingkat yang beroperasi saat itu selalu penuh dengan penumpang.

 Ayu, anak perempuanku satu-satunya bertanya kepada petugas yang berjaga, “Ini bangunan baru atau udah lama, pak? Soalnya masih bagus banget.”

“Ini udah lama sekali, bu, ini bangunan dulunya sekolah Taman Siswa terus dialihfungsikan jadi museum. Biar anak muda jaman sekarang tahu, pendidikan dulu itu seperti apa,” jelasnya jengan senyum ramah.

Kamipun masuk ke dalam, aku hanya bisa tersenyum dengan perasaan yang tidak dapat digambarkan. Perjuangan bapakku waktu menempuh pendidikan harus aku akui penuh lika-liku. Bapakku hanya seorang anak petani yang sulit untuk mendapat pendidikan yang layak. Beliau selalu menceritakan kisah hidupnya dan mengharuskanku untuk bersyukur setiap saat. Kali ini, aku bisa merasakan apa yang bapakku rasakan.

Benda-benda tua ini mengingatkanku tentang jamanku dulu. Roll film yang sudah usang tergeletak tidak berdaya, alat tulis dan alat hitung lama menjadi saksi pendidikan saat itu. Adakah yang bisa menggambarkan sesulit apa memperoleh pendidikan dulu?

Samar-samar aku mengingatnya di depan rumah dengan tembok yang terbuat dari kayu dengan kursi rotan di halamannya. Kami duduk berdua memperhatikan anak yang lewat dengan satu buku di tangan kanannya. Kala itu matahari baru muncul, umurku saat itu masih 12 tahun dan hanya bersekolah di sekolah rakyat.

“Bapak sekolah itu susah, sekolah hanya untuk orang-orang besar hanya yang keturunan saja yang bersekolah. Kita hanya diam, membantu orang tua saja,” ujarnya, “Bahasa yang diajarkan bahasa Belanda. Bapak tidak paham karena tidak pandai membaca.”

“Akhirnya bapak sekolah di HIS, banyak pribumi disana kita seperti bertemu orang yang satu kampung daripada ELS yang banyak orang Belanda. Mereka harus hormat kepada semua orang Belanda,” lanjutnya sambil memijat tanganku yang kurus.

“Di HIS kita sekolah 7 tahun, kalau mau lanjut kita sekolah di MULO selama 3 tahun lalu AMS selama 3 tahun, setelah lulus kita bisa jadi pegawai swasta atau masuk militer atau sekolah lagi di STOVIA.”

Bapak hanya menjelaskan secara singkat sekolahnya jaman dulu, tidak ada cerita lanjutan mengenai tahun itu. Aku tidak lagi bertanya karena dua tahun setelahnya bapak pergi meninggalkan aku, ibu dan dua adikku. Hari itu adalah hari yang paling aku benci selama hidupku tidak ada tawa dan cerita ringan yang selalu dia ceritakan.

Bangunan putih ini menjadi saksi bisuku menangis seorang diri. Betapa malangnya bapakku hanya ingin belajar membaca saja. Aku tidak pernah tahu perjuangannya dengan keseharian yang penuh senyum dan tidak ada raut wajah sedih. Usianya masih muda saat dia menikah dan memiliki anak.

Hidup di jaman sekarang sangat menyenangkan. Apa yang kita inginkan semua serba ada. Akses pendidikan terbuka bagi siapapun, banyak sekolah yang didirikan. Museum ini juga menjadi saksi perjalanan panjang pendidikan Indonesia. Harapanku sebagai orang tua hanya bisa berdoa semoga anak dan cucuku memperoleh sesuatu yang layak dan tidak ada kekurangan.

 

Ket.

HIS: Hollandsche Inlandsche School

ELS: Europesche Lager School

MULO: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs

AMS: Algemeene Middelbare School

STOVIA: School tot Opleiding van Indische Artsen

 

Penulis:

Diana Rahmawati - 180732640506

Komentar